IMPLEMENTASI PERDA DIY
NO. 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS
Disusun
oleh:
Putri
Nurul Khasanah
16/397133/EK/21089
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ABSTRAK
Penelitian berjudul
“Implementasi Perda DIY No.1 tahun 2014 tentang Penanganan Pengemis dan
Gelandangan” adalah proses penelusuran pelaksanaan Perda tentang penanganan
pengemis dan gelandangan di lapangan.
Latar belakang Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2014
adalah Pengemis dan gelandangan dikhawatirkan akan merusak citra DIY di mata
wisatawan, sehingga pemerintah DIY memutuskan untuk membentuk Perda ini agar
DIY dapat menjadi kota yang nyaman, tertib, dan bersih.
Latar belakang penelitian ini adalah meninjau upaya
pemerintah dalam menindaklanjuti perda tersebut, mengetahui realita di
lapangan, dan komentar masyarakat mengenai perda tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas Perda
DIY No. 1 tahun 2014 terhadap pengurangan laju pertambahan pengemis dan
gelandangan.
Kegunaan
penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai realita di lapangan
mengenai tindak lanjut Perda no. 1 tahun 2014 tentang gelandangan dan pengemis.
Lokasi
penelitian ini dilakukan di sepanjang jalan dan kawasan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah kualitatif, jenis penelitian ini
bersifat deskriptif, pengambilan data dilakukan dengan teknik observasi.
Hasil
penelitian ini adalah ternyata implementasi Perda DIY No. 1 tahun 2014 tentang
Penanganan Pengemis dan Gelandangan belum berjalan secara efektif. Masih
ditemukan banyak masalah yang harus ditangani oleh pemerintah.
DAFTAR
ISI
Abstrak ……………………………………………………………………… 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………. 2
Pendahuluan ………………………………………………………………… 3
A.
Latar
Belakang ………………………………………………….. 3
B.
Rumusan
Masalah ………………………………………………. 4
C.
Tujuan
Penelitian …………………………………….................. 4
D.
Manfaat
Penelitian ………………………………………………. 4
Isi ……………………………………………………………………………. 5
A.
Kajian
Pustaka ……………………………………….................. 5
B.
Pembahasan
…………………………………………………….. 6
Penutup …………………………………………………………….……….. 10
A.
Simpulan
……………………………………………….……….. 10
B.
Saran
…………………………………………………………….. 10
Daftar Pustaka ……………………………………………………….……….. 11
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Banyak Negara di dunia, tak terkecuali Indonesia,
mengalami permasalahan umum di wilayahnya tentang penanganan gelandangan dan
pengemis. Berdasarkan survey proyeksi Misery Index 2015, Bloomberg menempatkan Indonesia
berada dalam kategori 15 negara yang diproyeksi akan menjadi negara paling
sengsara di dunia dalam hal perekonomiannya(Tribun, 2015). Pada tahun 2014
Misery Index Indonesia berada pada angka 20,35 dan berada di urutan 4,
sedangkan di tahun 2015 Indonesia diproyeksikan memiliki skor kesengsaraan pada
angka 12,3 poin berada di peringkat 15. Tingkat kemiskinan yang semakin
tinggi inilah yang membuat semakin banyaknya gelandangan, pengemis, dan fakir
miskin di Indonesia.
Berdasarkan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU
Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pada bagian pertimbangan menyatakan
bahwa, gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena itu perlu
diadakan usaha-usaha penanggulangan dan pencegahan timbulnya gelandangan dan
pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan
pengemis agar mampu mencapai taraf hidup kehidupan dan penghidupan yang layak
sebagai Warga Negara Republik Indonesia.
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi masalah pengemis dan gelandangan, salah satunya di provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan memberlakukan Perda No. 1 tahun 2014 tentang
Penanganan Gelandangan dan Pengemis yang memuat sanksi cukup berat, yakni bagi
warga yang diketahui masih memberikan uang receh bagi pengemis dan gelandangan
di jalan bisa terkena pidana kurungan atau denda(DPRD DIY, 2011).
"Perda itu masih menimbulkan pro-kontra di
lapangan, terutama terkait persoalan HAM (hak asasi manusia)," ujar Kepala
Bidang Rehabilitasi Penyandang Masalah Sosial Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi Kota Yogyakarta Octo Noor Arafat, Kamis, 4 Juni 2015(Wicaksono, 2015).
Berdasarkan peraturan tersebut, penulis ingin
mengetahui pelaksanaan Perda di lapangan, tindak lanjut peraturan tersebut, dan
efektivitas Perda DIY No. 1 tahun 2014 terhadap pengurangan laju pertambahan
pengemis dan gelandangan.
B.
Rumusan
masalah
1.
Pelaksanaan
dan tindak lanjut Perda DIY No. 1 tahun 2014
2.
Efektifitas
Perda DIY No. 1 tahun 2014 terhadap pengurangan laju
pertambahan pengemis dan gelandangan
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pelaksanaan dan tindak lanjut Perda DIY No. 1 tahun 2014
2.
Mengetahui
efektifitas Perda DIY No. 1 tahun 2014 terhadap
pengurangan laju pertambahan pengemis dan gelandangan
D.
Manfaat
penelitian
1.
Melatih
keterampilan dan kecakapan peneliti dalam mengumpulkan informasi dan memecahkan
masalah.
2.
Memberikan
informasi tentang pelaksanaan dan tindak lanjut Perda DIY No. 1 tahun 201
ISI
A.
Kajian
pustaka dan teori
1. Definisi
Pengemis dan Gelandangan
Kata gelandangan dan pengemis sering
disingkat dengan “gepeng”. Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab
dengan akronim/singkatan “gepeng” (gelandangan dan pengemis). Kosakata lain
yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan
pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma (Maghfur Ahmad,
2010). Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan
pengemis yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang
populer digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis
adalah homeless (Engkus Suwarno, 2008)
Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan
berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu
bergerak, tidak tetap dan berpindah- pindah. Beliau juga mengemukakan
pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat gelandangan adalah
sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak
tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan
hina oleh orang-orang diluar masyarakat kecil itu yang merupakan suatu
masyarakat yang lebih luas.
Definisi
pengemis menurut UU Peraturan Pemerintah tentang Penangulangan Gelandangan dan Pengemis Pasal 1 adalah
orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum
dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang
lain (Universitas Udayana, 2011).
2. Faktor
Penyebab
1. Kondisi
ekonomi yang kurang
2. Tingkat
pendidikan yang rendah
3. Kurangnya
keterampilan
4. Rendahnya
rasa percaya diri
5. Kondisi
sosial budaya
3.
Latar
belakang pemberlakuan Perda Yogyakarta Nomor 1 tahun 2014
Latar belakang
pemberlakuan Perda Yogyakarta Nomor 1 tahun 2014 karena dengan memberi uang
receh pada pengemis menandakan telah berkontribusi dalam memupuk kebiasaan
pengemis yang malas bekerja. Kasus pengemis memang
beragam. Ada yang menjadikan itu sebagai profesi sehingga mereka mengerjakan
dengan sungguh-sungguh. Ada yang malas bekerja, tidur ketika ingin tidur, dan
mengemis ketika tidak ada uang untuk membeli makanan dan marah-marah apabila
diberi uang recehan dibawah nominal Rp 500,00.
4. Tujuan
pemberlakuan
Dalam
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 3, penanganan
gelandangan dan pengemis bertujuan untuk :
a. Mencegah
terjadinya pergelandangan dan pengemisan
b. Memberdayakan
gelandangan dan pengemis
c. Mengembalikan
gelandangan dan pengemis dalam kehidupan bermartabat, dan
d. Menciptakan
ketertiban umum
B.
Pembahasan
Gelandangan dan pengemis merupakan
kelompok satuan masyarakat yang terpinggirkan dari kehidupan bermasyarakat. Biasanya
mereka menghuni daerah-daerah kumuh dengan lahan yang minim dan kebanyakan dari
lahan tersebut berstatus milik Negara sehingga illegal untuk dihuni. Karena
gaya hidup yang dianggap kotor oleh sebagian masyarakat, mereka kerap mendapat
berbagai stigma. Stigma ini cenderung memberi kesan atau citra yang negatif.
Gelandangan
dan pengemis dianggap mengganggu kenyamanan, ketentraman, dan penampilan
masyarakat khususnya di daerah perkotaan. Berbagai stigma ini membuat para
gelandangan dan pengemis harus berjuang menghadapi kesulitan sosial, ekonomi,
psikologis dan budaya. Akan tetapi, bukan berarti para gelandangan dan pengemis
tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup. Namun, memang realita di
lapangan masih terdapat banyak gelandangan dan pengemis yang bertebaran di
sudut-sudut keramaian kota. Bahkan terdapat oknum yang berpura-pura menjadi
pengemis dan meresahkan masyarakat serta wisatawan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Untuk mengatasi hal di atas,
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk Perda DIY No. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan
Pengemis. Perda ini masih menjadi pembicaraan kontroversional di masyarakat.
Pemerintah D.I.Yogyakarta baru-baru ini mulai gencar melakukan razia gepeng
menyusul diberlakukannya Perda No. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan
dan Pengemis. Sampai saat ini, keberadaan Perda tersebut dirasa belum efektif (Kompas, 2015).
Jika kita menilik pasal-pasal dalam
Perda DIY No.1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, terutama
pada pasal 1 yang menyebutkan bahwa pemerintah menggunakan upaya koersif
dalam melindungi dan memberdayakan
pengemis. Penulis merasa upaya ini kurang tepat dan berlainan dengan yang
disebutkan dalam pasal 2 yang menyebutkan upaya penanganan gelandangan dan
pengemis dilakukan dengan asas non-kekerasan. Padahal koersif sendiri berarti
paksaan. Paksaan sendiri sering identik dengan bentak-membentak dan tidak
sedikit pula yang berujung kekerasan.
Selain upaya yang dianggap kurang
tepat, penulis juga mempermasalahkan pasal 22 yang berbunyi “Setiap
orang/lembaga/badan hukum dilarang memberi uang dan/atau barang dalam bentuk
apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum.”
Pasal ini membuat ssaya menjadi multi-taskingApakah berarti beberapa
organisasi atau badan masyarakat yang bergerak di bidang kepedulian sosial yang
sering memberikan bantuan tidak diperbolehkan melakukan aktivitasnya? Padahal
menjamin kesejahteraan masyarakat adala tanggungjawab bersama. Maka, siapakah
yang hendak membantu para pengemis dan gelandangan ini yang notabene termasuk
masyarakat Negara Republik Indonesia? Walaupun memang sebagian besar dari
mereka tidak memiliki pencatatan sipil yang jelas dan resmi. Jika demikian maka
seharusnya Pemerintah DIY harus menyediakan solusi atas permasalahan tersebut.
Salah satu yang menjadi perhatian
penting adalah jangan-jangan peraturan tersebut malah menimbulkan berbagai
permasalahan karena upaya penanganan masalah yang tidak terselenggara dengan
baik, menganggu upaya penyejahteraan masyarakat kurang mampu, dan merusak citra
DIY sebagai provinsi yang ramah serta Indoensia sebagai Negara yang sangat
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kemudian, di dalam skema Perda
Penanganan Gelandangan dan Pengemis, pemerintah akan melakukan penjangkauan,
merespon laporan dari masyarakat atau langsung melakukan penertiban secara
langsung (razia). Setelah itu gelandangan dan pengemis akan dibawa ke camp
assessment untuk dilakukan observasi(Kapstra Fisipol
UGM, 2015).
Bila dilihat secara sekilas, mungkin
skema tersebut terlihat baik untuk menangani penertiban pengemis dan
gelandangan. Namun, bagaimanakah realita yang ada di lapangan? Kita perlu
memperhatikan kondisi dan situasi di lapangan. Apakah implementasi perda
tersebut berjalan dengan semestinya.
Berdasarkan info dari Satpol PP
Yogyakarta, hingga Agustus tahun 2014 sudah ada 2000 gelandangan dan pengemis
terjaring. Lalu hendak diapakan mereka? Apakah panti-panti sosial sudah siap
menerima mereka? Apakah koordinasi antar instansi juga sudah siap? Apakah
keuangandaerah sudah siap untuk menyantuni mereka/mengembalikan ke tempat asal?
Apakah lapangan pekerjaan sudah disiapkan? Apakah Rumah Tahanan Negara atau
Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta sanggup menampung mereka? Rupanya
mekanisme tersebut diatas belum disebutkan secara rigit dalam Perda ini(Kapstra Fisipol UGM, 2015).
Oleh karena itu, pemerintah perlu
meninjau ulang Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Penanganan
Gelandangan dan Pengemis serta memperhatikan bagaimana pengawasan dan tindak
lanjut dari perda tersebut. Selain itu, perlu peran serta masyarakat untuk
mengawasi pelaksanaan perda serta mendukung dan mematuhi peraturan yang berlaku
nantinya.
.
PENUTUP
A.
Simpulan
Perda
DIY No. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis ternyata masih
belum efektif. Masih banyak permasalahan-permasalahan di lapangan yang tidak
sesuai dengan pasal-pasal yang tertera dalam perda tersebut. Oleh karena itu,
pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai implementasi berlakunya perda
tersebut.
B.
Saran
Penulis
menyarankan kepada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menerapkan
upaya pendekatan yang bersifat preventif untuk menertibkan gelandangan dan
pengemis. Selain itu, pemprov perlu mengoptimalkan penyelenggaraan rehabilitasi dan mengkaji
ulang peraturan daerah agar lebih jelas implementasinya. Kemudian,
peran serta masyarakat diperlukan untuk mengawasi pelaksanaan perda serta
mendukung dan mematuhi peraturan yang berlaku nantinyaMasyarakat tentunya berharap provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta menjadi daerah yang nyaman
dan bersih untuk menjadi tempat tinggal dan destinasi wisata yang menyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA
DPRD DIY, 2011. TINJAUAN UMUM
TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANG DAN PENGEMIS, D. I. Yogyakarta: DPRD DIY.
Kapstra
Fisipol UGM, 2015. PERDA PENANGANAN GEPENG NOMOR 1 TAHUN 2014 : BERBENAH
SETENGAH HATI ?. [Online]
Available at: http://kapstra.fisipol.ugm.ac.id/perda-penanganan-gepeng-nomor-1-tahun-2014-berbenah-setengah-hati/
[Accessed 4 7 2015].
Kompas,
2015. Jangan Beri Uang pada Pengemis. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/jangan-beri-uang-pada-pengemis_550e11b8a33311b02dba7f42
[Accessed 4 7 2016].
Kompas,
2015. Perda DIY No1 Tahun 2014 : Kriminalisasi para “Dermawan Jalanan”?. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/triadmoko13/perda-diy-no1-tahun-2014-kriminalisasi-para-dermawan-jalanan_555463e06523bd9b144aef6f
[Accessed 7 juli 2016].
Tribun,
2015. Indonesia Masuk dalam 15 Negara Paling Sengsara di Dunia. [Online]
Available at: http://jogja.tribunnews.com/2015/03/04/2015-indonesia-masuk-dalam-15-negara-paling-sengsara-di-dunia
[Accessed 4 7 2016].
Universitas
Udayana, 2011. TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN. [Online]
Available at: https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1290561035-3-BAB%20II.pdf
[Accessed 3 july 2016].
Wicaksono, P., 2015. Ditentang, Perda Larangan Beri Uang
Pengemis Ditunda. [Online]
Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/06/05/058672337/ditentang-perda-larangan-beri-uang-pengemis-ditunda
[Accessed 4 7 2016].